Perlu Perkembangan Ilmu Kepolisian Dalam masyarakat Multi Kultural dengan adanya Tantangan Reformasi

Polres Kepulauan Seribu
0
Ilustrasi
Penulis : Kompol Panji Santoso,Sik

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, membuat profil Polri menjadi sosok yang sangat hebat karena terlalu luasnya kewenangan, hal ini menimbulkan berbagai macam permasalahan, baik dari segi internal maupun external. Berdasarkan undang-undang, Polri mempunyai tugas pokok melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Penegakan hukum dengan kewenangan inilah maka Polri mempunyai kewenangan yang sangat luas sehingga setiap kejadian yang timbul dalam  masyarakat selalu dikaitkan dengan  Polri

Sejarah Polri dimulai dari zaman kemerdekaan Republik Indonesia hingga sekarang, sebagai aparat negara yang bertugas menjaga keamanan negara semua ini menimbulkan dinamika dihadapan masayarakat, berkembang di era reformasi Polri dituntut untuk profesional, proporsional dan humanis menghadapi setiap permasalahan dimasyarakat. Searah jarum jam sebelum reformasi bergulir pola pikir masyarakat masih terkunci sehingga kebebasan megemukakan pendapat dimuka umum sangat dibatasi sehingga tugas Polri sangat mudah, jika terdapat permasalahan dimasyarakat tinggal tangkap urusan dikantor, hal ini tidak dapat terjadi lagi diera sekarang karena masyarakat sudah lebih bebas berpendapat sehingga Polri tidak dapat lagi berbuat semena-mena namun tidak juga menjadikan Institusi Polri itu lemah.

Reformasi yang sudah berjalan ini kita ketahui bersama bahwa Negara Republik Indonesia mencanangkan globalisasi menuju kebebasan yang sangat luas masuknya investor-investor asing menyebabkan persaingan yang ketat bagi kalangan usahawan asli indonesia, semua ini menjadi tantang berat bagi Polri sebagai aparat keamanan untuk mengantisipasi sehingga tidak terjadi gejolak dimasyarakat ataupun investor asing takut untuk menanamkan modal di Indonesia.

Kita ketahui bersama seiring dengan berjalannya globalisasi di negara kita saat  ini terjadi peningkatan kejahatan yang cukup signifikan, yang awalnya kejahatan hanya biasa-biasa saja mulai timbul kejahatan IT, dan kejahatan kejahatan lain yang bersifat ekstrim dan terorganisasi, menghadapi hal ini maka Polri harus membenahi diri mulai dari Instrumen, Restrukturisasi dan kultur menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Pembenahan oleh Polri mutlak dilaksanakan karena merupakan kebutuhan yang sangat fatal, hal ini berdampak pada pelaksanaan tugas-tugas polri dilapangan, sehingga doktrin-doktrin yang negatif hilang seperti pulang harus bawa uang, tiada hari tanpa tangkapan atau lain sebagainya.

Sejarah perkembangan Ilmu Kepolisian di Indonesia dimulai dari pembentukan Akademi Polisi tanggal 17 Juni 1946 setelah pengakuan kedaulatan desember 1949, maka Akademi Kepolisian dan dipindahkan ke Jakarta sejak tahun 1950 berubah nama menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).  Disamping PTIK terdapat pula pendidikan Polri yang lebih rendah tingkatannya yaitu Sekolah Polisi Negara (SPN) dan penididikan lainnya misalnya Balai Latihan Brimob juga Akademi Ilmu Kepolisian yang pada tahun 1965 berubah namanya menjadi Akademi Angkatan Kepolisian Bakaloreat (Sarjana Muda) dan akademi ini menjadi AKABRI Bagian kepolisian (Sejarah Kepolisian. 1999, hal. 170-172; dan Harsya W. Bachtiar. 1994, hal:59)  atau yang sekarang disebut AKPOL.

Dari lintasan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa istilah Ilmu Kepolisian mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1950 dan hanya digunakan untuk pendidikan tingginya,  spekulasi pada saat itu dilakukan oleh Prof. MR. Djokosoetono karena erat kaitan Ilmu Kepolisian dengan pembinaan dan pengembangan tatanegara. Di Eropa penelitian ilmiah tentang organisasi Kepolisian dalam tatanan kenegaraan sudah dilaksanakan sejak abad ke-19.  Saat ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk memahami mengapa gurubesar hukum tatanegara Djokosoetono mempergunakan istilah “Ilmu Kepolisian” untuk lembaga pendidikan tinggi yang mendidik perwira kepolisian, dan mengapa dalam kurikulum di PTIK masih diberikan mata pelajaran tentang masyarakat indonesia.  

Pada tahun 1994, Harsya W. Bachtiar mengeluh tentang langkanya terbitan ilmiah dalam bahasa Indonesia untuk bidang Ilmu Kepolisian. Sehingga pada tahun 1996 Universitas Indonesia mendirikan Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) sebagai program pascasarjananya (Harsya W. Bachtiar. 1994, hal:34-36).  Berbeda dengan PTIK (pendidikan sarjana), kurikulumnya masih berfokus pada pengetahuan hukum, maka KIK (sebagai pendidikan Magister Ilmu Kepolisian) sudah memindahkan perhatiannya pada ilmu-ilmu sosial. Lambatnya PTIK mengubah Pola pendidikan dan Kurikulum ini karena pengaruh Politik dalam negara, selama kurang lebih 30 tahun Polri merupakan bagian dari ABRI sehingga kewenangan yang digunakan adalah kekuatan (force) atau kekerasan (violence) fisik atas nama negara.

Dalam negara hukum yang mempunyai pemerintahan demokratis, maka Polri harus tunduk pada hukum dan kekuasaan demokratis yang ada yaitu kekuasaan yang dibatasi dengan pertanggungjawaban (account-ability) kepada rakyat (kedaulatan rakyat).  Meskipin kepolisian diberi wewenang untuk menggunakan kekerasaan atas nama negara namun janganlah setiap kegiatan polisian dilakukan dengan kekerasan karena, dalam pasal 13 UU Kepolisian 2002 tugas kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum maka sebaiknya petugas kepolisian memperhatikan bahwa “pemolisian yang baik adalah ‘seni’ bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa melakukan pemaksaan” (good policing...the craft of handling trouble with out resort to coercion – Robert Reiner, 2000, h. 6-7).

Dalam era reformasi seperti saat inilah kajian ilmiah tentang Kepolisian dan pemolisian sangat di perlukan. Karena perkembangan Ilmu Kepolisian akan dapat membantu kajian tersebut di atas maka pada tahun 1994 keberadaan Ilmu Kepolisian adalah merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri. Dalam bukunya Harsya Bachtiar berpendapat bahwa “ Ilmu Kepolisian yang baru adalah hasil dari penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama”. Dikatakan selanjutnya bahwa “ Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang Ilmu Pengetahuan baru dan mempunyai identitas sendiri”. Dari kutipan tersebut dapat kita pahami bahwa ilmu kepolisian yang baru dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi bidang” dan akan menjelma menjadi suatu pengetahuan dengan pendekatan antar – bidang.  Berkembangnya Ilmu Kepolisian ini diharapkan dapat membantu profesi Polisi meningkatkan kemampuannya.

Profesionalisme Polisi juga tidak dapat di lepaskan dari peranan yang di harapkan olah masyarakat tentang apa yang menjadi tugas pokok Kepolisian (sebagai organisasi). Pendekatan Polisi pada penegakkan hukum akan memfokuskan hubungan pada apa yang masyarakat harus lakukan untuk membantu Polisi mengendalikan kejahatan, memberi kesaksian dalam penyidikan kejahatan dan melaporkan adanya orang–orang yang mencurigakan di sekitar mereka. Sebaliknya pendekatan Polisi pada penyelesaian masalah akan lebih memfokuskan hubungan Polisi–masyarakat pada apa yang dapat dikerjakan bersama, sebagai mitra, saling membantu dalam kemitraan. Karena itu mencegah kejahatan dan ketidakteertiban merupakan tujuan penting kemitraan ini. Strategi yang dicanangkan dengan semboyan Kepolisian yang baru, “community policing” harus dilihat dalam pendekatan “penyelesaian masalah”, esensinya adalah pada partisipasi masyarakat yang didasarkan pada sikap saling mempercayai dan menghormati, dimana masyarakat diberdayakan untuk melindungi diri sendiri sehingga dapat menginsyafi bahwa arti “membantu polisi” adalah membantu diri sendiri menciptakan komunitas yang lebih baik untuk kehidupan seluruh masyarakat.

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang majemuk karena itulah dibutuhkan kemantapan fungsi Polri dan peranan petugas Kepolisian Indonesia untuk turut aktif dalam mempelopori upaya perubahan menuju masyarakat multikultural, tidak hanya melayani masyarakat saja. Ini sejalan dengan kebijakan Polri yang menekan visi dan misinya sebagai pengayom atau menciptakan rasa aman dalam kehidupan masyarakat dengan lebih meningkatkan upaya preventif dalam pemolisian melalui pemolisian masyarakat sehingga Polisi dapat melihat masyarakat sebagai mitra kerjanya.  Sebagai negara majemuk Indonesia dihadapkan kepada masalah-masalah yaitu meningkatnya perpindahan penduduk yang sekarang ini tidak hanya terjadi diperkotaan tetapi sudah terjadi dipedesaan sehingga keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan menimbulkan masalah baru ditambah lagi dengan adanya dampak dari globalisasi yang mendorong meningkatnya korupsi dan kolusi, untuk mengatasi masalah-masalah itu semua maka cara yang baik adalah mengadopsi ideologi multikultural yang menekankan bahwa kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan.  Multikultural menawarkan adanya pemahaman dan penghargaan diantara kelompo-kelompok, ras dan gender sehingga diharapkan tidak ada lagi stereotip yang membedakan secara tajam antara ‘kami’ dari ‘mereka’ dimana ‘kami’ lebih unggul dan ‘mereka’ adalah asor. 

Multikultural yang terjadi memberikan kecenderungan bagi Polri untuk meningkatkan manajemen pemolisian komuniti (comunity policing) sebagai profesional Polri menyikapi dinamika keberagaman komuniti untuk menjadikan masyarakat sebagai mitra Polisi, namun dalam proses penegakan hukum tetap dilaksanakan. Hal ini hanya dapat dilakukan jika Polri mebuat kebijakan penegakan hukum multikultural, kebijakan yang mencakup dua wilayah kebijakan yaitu internal dan external, kebijan internal dilaksanakan dengan kegiatan didalam organisasi Polri dengan cara penyebaran konsep untuk pemahaman multikultural meniadakan tindakan yang memihak sehingga diharapkan dapat dihasilkan Polri yang profesional dambaan masyarakat terwujud citra sebagai pengayom dan pelindung yang memberi rasa aman pada masyarakat.  Kebijakan eksternal dilakukan dengan cara pendataan keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan serta rincian potensi kebersamaan dan konflik, dengan adanya data yang akurat dan update maka kebijakan yang diambil oleh pimpinan wilayah untuk berbagai tugas dapat berjalan efektif dan para petugas Kepolisian dilapangan akan dapat lebih profesional dalam menjalankan tugas pemolisian tersebut.

Polri pada saat sekarang ini berbeda pada masa orde baru, profesionalisme mencakup tuntutan yang lebih besar kemampuan berkomunikasi dengan kelompok masyarakat, tuntutan tersebut mengacu pada pelayanan dan pengayoman Polisi yang manusiawi dan tidak sewenang wenang serta menjunjung tinggi HAM, serta adopsi Community policing sebagai salah satu program utama Polri sehingga paradigma yang mulanya memerangi kejahatan berubah menjadi melayani (to serve) dan melindungi (to protect). 
Pada umumnya kita memahami bahwa globalisasi sebagai suatu proses yang kelompok dan bangsa menjadi lebih saling tergantung atau “interdepandent” (Giddens,2001).  Globalisasi yang kita alami bukanlah semata – mata suatu fenomene ekonomi tetapi merupakan gejala yang dibentuk olah pengaruh bersama faktor-faktor politik, sosial, kultural dan ekonomi (Giddens,2001). Pendekatan seperti ini merujuk pada contoh–contoh di dunia ekonomi yang sangat di pengaruhi oleh “global capitalism” yang dikendalikan dan dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Juga yang turut mendorong perubahan-perubahan sosial di negara berkembang adalah perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, yang tentunya juga mempengaruhi kecepatan transaksi dalam pasar uang dunia.

Dalam situasi seperti ini dapat dibayangkan, akan makin mudah berkembangnya perdagangan ilegal senjata dan narkoba yang merupakan  kejahatan terorganisasi, serta terorisme (khususnya pembiayaan terorisme). Untuk Indonesia bahaya juga datang dari mudahnya melarikan aset dari hasil korupsi ke luar negeri serta kejahatan “money loundering”.  Keadaan tersebut memang mencemaskan dan dapat menimbulkan fatalisme seolah–olah kita tidak dapat mengubah kekuatan globalisasi untuk menguntungkan kita, oleh karena itu pendapat bahwa globalisasi adalah sebuah juggernaut yang tidak terkendali harus dilawan dengan cara melalui kerja sama internasional. 

Indonesia sebagai salah satu negara–nation mendasarkan legitimasinya pada kemampuan memberikan rasa aman dan kesejahteraan terhadap suatu suku bangsa yang homogen, masyarakat Indonesia dunamakan masyarakat majemuk (plural society) pemahaman seperti ini sebaiknya diganti dengan pemahaman bahwa kita adalah suatu masyarakat multikultural karena multikulturalisme tidak akan merusak atau mengganggu negara – nation justru memperkuat masyarakat tersebut terhadap kemungkinan pengaruh merusak dari kekuatan ekonomi globalisasi.

Negara dapat kita lihat sebagai “security provider” bagi penduduk dalam daerahnya juga negara mempunyai “domestic monopoly on the used of violance” namun yang kita lihat akhir- akhir ini bahwa terorisme telah meniadakan kedua azas diatas, bahaya organisasi terorisme sangat mengancam negara-negara yang kehilangan legitimasi dari penduduknya, ini disebakan karena proses globalisasi. Organisasi dengan pola rhizome ala terorisme juga terjadi pada kejahatan transnasional mengikuti proses globalisasi yang terjadi dibidang ekonomi, maka organisasi kriminal sekarang juga mempunyai jaringan global, komunikasi, dan hubungan internasional untuk membuka pasar baru perdagangan ilegal.



Globalisasi Dan Konsep Negara–Nasion
Menurut pendapat Jeff Vail (2005) dalam model (paradigma) negara – nasion, maka kebangsaan seseorang itu adalah eksklusif, juga wilayah politiknya eksklusif (tidak dapt tumpang tindih) dan seharusnya pula hanya didiami oleh penduduk dari satu suku bangsa. Hal ideal ini tidak pernah ada karena kebanyakan negara itu terdiri dari berbagai suku bangsa. Giddens (2001) menanamkan negara-negara seperti ini sebagai bercorak “multiethnic population”. Masyarakat yang multietnik ini mencoba melakukan investgrasi untuk menghindari disintegrasi negaranya, adapun model-model utama melakukan integrasi etnik adalah asimilasi “the melting pot” dan pluralisme.  Asimilasi adalan cara dimana golongan minoritas di harapkan meninggalkan “kebudayaan aslinya” dan menyasuaikan diri pada nilai dan norma golongan mayoritas. Sedangkan dalam model “melting pot” kebudayaan golongan minoritas tidak di lebur kedalam kebudayaan dominan, tetapi dilebur menjadi kebudayaan baru yang juga disesuaikan dengan lingkungan yang baru pula. Model ketiga adalah “cultural pluralisme” membangun suatu masyarakat majemuk yang mengakui kesetaraan dari keanekaragaman kebudayaan yang ada. Golongan minoritas etnik ( suku bangsa) mempunyai derajat kesetaraan yang sama dengan golongan mayoritas etnik, yang terakhir ini yang juga dimaksudkan oleh Suparlan sebagai multikultural.

Sehubungan dengan pendapat Jeff Vail maka Prof. Mardjono Reksodiputro mempunyai pendapat yang berbeda, dan lebih sependapat dengan Suparlan. Beliau mengemukakan bahwa multikulturalisme tidak akan merusak atau mengganggu negara – nasion yang masyarakatnya terdiri dari suku bangsa atau golongan etnik. Malahan dalam negara demokrasi dimana ada supremasi hukum, maka pengakuan akan kesetaraan derajat dari berbagai kebudayaan dan perlindungan hukum yang diberikan, akan membantu memperkuat masyarakat tersebut terhadap kemungkinan merusak dari pengaruh ekonomi globalisasi.

Menanggapi pernyataan tersebut di atas, saya mempunyai pendapat yang sama dengan Prof. Mardjono Reksodiputro dan Prasudi Suparlan. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan sebuah kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan. Multikulturalisme bermula dari konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan untuk memeahami dan memecahkan serta menangani berbagai permasalahan yang muncul di negara-negara barat setelah selesinya perang dunia kedua. Multikulturalisme menawarkan adanya saling pemahaman dan penghargaan diantara kelompok-kelompok suku bangsa,ras dan gender. Melalaui saling pemahaman mengenai kebudayaan-kebudayaan mereka yang hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Melalui pemahaman ini di harapkan tidak akan ada lagi stereotip yang membedakan secara tajam antara “kami” dan “mereka”, di mana ”kami” adalah yang unggul atau superior dan “mereka” adalah yang assor. Menghilangnya stereotip akan menghilangkan prasangka yang biasanya menjadi acuan dari diskriminasi dan kon flik dengan keselarasan yang dihasilkan oleh kebencian (hate crime).

Dalam model multikulturalisme, sebuah masyarkat, termasuk juga masyarakat seperti bangsa Indonesia, dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum bagi kehidupan masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik . mozaik tersebut adalah sebuah kebudayaan bangsa yang intinya dalah kebangsaan yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Di dalam mozaik tersebut tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut, jika masyarakat tersebut adalah masyarakat majemuk seperti di Indonesia maka yang tercakup dalam mozaik tersebut adalah kebudayaan dari masyarakat suku bangsa selanjutnya masing-masing masyarakat suku bangsa yang ada dalam mozaik tersebut merupakan sebuah bingkai mozaik  yang di dalamnya tercakup kebudayaan dari berbagai kelompok dan masyarakat yang tercakup dalam suku bangsa tersebut. Semua kebudayaan yang tercakup dalam mozaik tesebut memmpunyai kesederajatan yang sama dan semuanya terpusat pada kebudayaan kebangsaan yang menjadi ciri dari mozaik tersebut, dalam hal ini mozaik kebudayaan bangsa tersebut dapat dilihat sebagai pucuk-pucuk kebudayaab di daerah. Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan pasal 22 UUD 1945 yang merupakan buah pikiran pendiri bangsa Indonesia.

Dari tinjauan diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan akademi kepolisian sudah dimulai sejak tanggal 14 juni 1946. Dan pada tahun 1950 diganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang awalnya hanya mengajarkan ilmu kepolisian kini di universitas indonesia mendirikan Program Study Kajian Ilmu Kepolisian. Perkembangan pendidikan kepolisian tersebut dikarenakan tuntutan di lembaga kepolisian untuk mengembangkan Ilmu kepolisian yang terkandung di dalamnya. Melalui pendapat seorang guru besar Harsya Bachtiar, dapat di ketahui arah perkembangan Ilmu Kepolisian itu sendiri. Dari ilmu kepolisian (yang baru) dapat dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi bidang”. Namun dari pendapat yang lainnya dapat disimpulkan bahwa arah perkembangan Ilmu kepolisian tengah menuju ke arah pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).

Sebagai disiplin ilmu yang baru dengan multi bidang maka penerapan ilmu kepolisian di tengah-tangah masyarakat dapat memeberikan peluang baru bagi terciptanya konsep penanggulangan kejahatan. Hal ini dikarenakan tidak ada satu teori pun yang mampu membasmi kejahatan, makanya dengan multi bidangnya diharapkan dapat menekan kejahatan karena melihat kejahatan dari berbagai bidang dan sisi. Kemampuan personil kepolisian yang mempelajari ilmu kepolisian melalui jalur non kedinasan akan mengasah kemampuan dan keahlian personil tersebut dalam membuka jalan tengah bagi isu-isu yang berkembang di masyarakat agar dapat mengambil kepurusan yang tepat. Dampak keputusan yang tepat ini akan menjaga kondusifitas wilayah satuan masing-masing sehingga keamanan yang merupakan tujuan akhir kepolisian sedikit demi sedikit dapat terwujud.

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang majemuk karena itulah dibutuhkan kemantapan fungsi Polri dan peranan petugas Kepolisian Indonesia untuk turut aktif dalam mempelopori upaya perubahan menuju masyarakat multikultural. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan sebuah kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan. Multikultural bukan hanya memperjuangkan kesetaraan kesukubangsaan, ras, gender, dan umur, tetapi juga memperjuangkan kelas-kelas sosial yang tertindas, dengan kata lain sebuah ideologi dan perjuangan politik

Melalui program pendidikan yang diadakan oleh Polri, polisi telah mempersiapkan secara lebih baik untuk dapat mengatasi perbedaan-perbedaan budaya dan mengembangkan keahlian-keahlian dalam menangani masalah-masalah silang budaya. Polisi harus mampu berinteraksi secara efektif dengan warga dan berbagai kelompok suku bangsa yang hidup dalam komuniti-komuniti.

Polisi dalam menghadapi masyarakat yang multicultural seperti di Indonesia, harus mempunyai langkah dan siasat untuk menghadapi perbedaan yang ada pada setiap komunitas. Contohnya mereka harus mempelajari bahasa yang digunakan, mempelajari adat dan kebiasaan, melakukan kunjungan pengenalan diri kesetiap rumah-rumah warga (Polmas).menjalin interaksi social, membangun kepercayaan warga dengan membantu mereka, melakukan dikresi tugasnya (untuk membangun kepercayaan warga). Harus adil dalam pelakuan pelayanan.

Peran pendekatan melalui komunitas ini merupakan suatu terobosan baru yang mengakrabkan personil kepolisian tingkat paling bawah khususnya bhabinkamtibmas ubtuk meyelami permasalahan yang ada di masyarakat. Masyarakat yang multikultur ini tidaklah mudah untuk terbuk menyajikan masalah yang dihadapi didepan seorang personil polri, diperlukan kedekatan dulu baru akan terjadi keterbukaaan. Kedekatan inilah yang diciptakan melalui proses komunikasi yang intim. Komunikasi dapat tercipta bila ada penjalaran arus melalui media, inilah pentingnya peranan bahasa dan budaya. Local job for local people adalah solusi yang tepat karena telah mampu melampaui satu tahapan kedekatan tanpa perlu diciptakan karena personil tersebut telah paham bahasa dan budaya masyarakat setempat.

Globalisasi sebagai juggernaut sehingga menyebabkan tidak dapat dikontrol. Perkembangan globalisasi menghasilkan kejahatan-kejahatan baru yang berdimensi luas dan borderless. Kejahatan transrnational seperti korupsi dan narkoba semakin marak di negara-nasion.

Efek globalisasi yang menggelinding dan melibas siapa saja memang tampak mengerikan bila kesiapan kepolisian tidak memadai. Perkembangan kejahatan pun akan senada dengan perkembangan masyarakat, karena kejahatan sejatinya merupakan produk masyarakat, jadi semakin maju masyarakat maka akan semakin maju pula perkembangan kejahatannya. Timbulnya kjahatan-kajahatan dimensi baru yang tidak memandang tempat, waktu dan batas ini akan menambah terciptanya modus, pelaku dan korban-korban baru. Nah peran kepolisian inilah yang dituntut untuk membasmi kejahatan dan melindungi para calon-calon korban agartidak menjadi korban secara nyata. Oleh karena itu perkembangan teknologi dan informasi harus di implant ke tubuh kepolisian unutk dapat menembus kejahatan tansnational karena mustahil tanpa teknologi yang canggiah dapat mendeteksi kejahatan ini apalagi membasminya.

Pembahasan mengenai Perlunya Pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia Dalam Masyarakat Yang Multikultural Dengan Adanya Tantangan Globalisasi? Saya jawab ya sangat diperlukan mengingat Ilmu Kepolisian harus berkembang sesuai dengan dinamika yang berkembang dimasyarakat salah satu caranya melaui Riset.






Tags

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)