PolresKepulauanseribu.com - Aparat penegak
hukum memiliki tanggung jawab melakukan pemulihan trauma anak korban
eksploitasi seksual, salah satunya dalam melakukan wawancara korban.
"Bisa
dimulai dengan teknik wawancara korban yang baik, " kata Koordinator
End Child Prostitution, Child Pornography& Trafficking of Children
for Sexual Purpose (ECPAT) Indonesia, Ahmad Sofian dalam workshop
Perlindungan Hukum Korban Eksploitasi Seksual Anak di Jakarta, Selasa.
Kasubnit
IV Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Kompol
Khatarina Ekorini Indriati mengatakan proses wawancara harus peka
terhadap anak.
Khatarina lebih lanjut
mengatakan, penggunaan alat perekam saat melakukan wawancara dibenarkan.
Atau bisa juga menempatkan salah satu rekan di belakang anak untuk
mencatat semua informasi yang diberikan, katanya.
"Karena kita tidak mungkin menyerap semua informasi yang diberikan," ujar Katharina.
Kemudian, saat melakukan wawancara, anak harus didampingi, misalnya oleh orang tua atau kerabat dekatnya.
Berdasarkan konferensi regional Asia Tenggara
mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual
yang diselenggarakan pada Oktober lalu di Bali, ada sejumlah rekomendasi
kunci untuk melindungi anak-anak korban eksploitasi seksual.
Salah
satunya adalah penegak hukum bertanggung jawab tidak terbatas pada
melakukan wawancara dan pemeriksaan forensik korban anak. Namun juga
mengurangi trauma yang dialami korban.
Dalam
melakukan wawancara, penegak hukum harus menggunakan teknik wawancara
khusus untuk mengekstrak informasi dari anak. Teknik yang dimaksud
antara lain membangun hubungan dengan anak. Kemudian, wawancara dengan
korban harus dilakukan dengan cara dan lingkungan yang ramah anak.