Ilustrasi. |
polreskepulauanseribu.com - Bencana yang melanda sejumlah wilayah sejak akhir tahun lalu, mulai
dari banjir, longsor, angin puting beliung, gelombang laut yang tinggi,
hingga gunung meletus, belum berakhir, bahkan berpotensi masih akan
terus terjadi.
Banjir, misalnya, tak kunjung surut, bahkan terus
meluas. Kondisi ini membuat sebagian besar wilayah Indonesia dalam
kondisi darurat bencana.
Di Jawa, banjir hampir merata di seluruh
wilayah, dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Banjir di Kabupaten Subang,
Jawa Barat, kemarin menyebabkan jalur utama pantura putus, mulai dari
Kecamatan Patokbeusi, Ciasem, Sukasari, Pamanukan, hingga Pusakajaya.
Ketinggian air di ruas jalan tersebut hingga 60 sentimeter. Hingga
berita ini diturunkan, jalur utama pantura Subang masih macet total
dengan panjang antrean sekitar 1,5 kilometer di kedua arah.
Pada
akhir tahun lalu, banjir juga menyebabkan jalur selatan di wilayah
perbatasan Kabupaten Kebumen dan Purworejo di Jawa Tengah terputus. Saat
itu sejumlah wilayah selatan Jateng banjir akibat meluapnya sejumlah
sungai.
Saat ini, banjir di Jateng terjadi di sejumlah wilayah
utara, seperti Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kota Semarang, Kabupaten
Kudus, serta Kabupaten Pati. Banjir di wilayah utara Jateng ini
cenderung lama surut karena pada saat bersamaan terjadi pasang air laut.
Banjir di Kota dan Kabupaten Pekalongan, misalnya, terjadi sejak tiga
hari lalu.
Di luar Jawa, banjir terjadi di sejumlah wilayah di
Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Di sejumlah wilayah
bahkan terjadi banjir bandang, seperti di Manado, Sulawesi Utara;
Kabupaten Dinggala, Sulawesi Tengah, dan di Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatera Utara.
Banjir bandang ini tidak hanya menimbulkan
kerugian material karena jalan putus, bangunan termasuk rumah rusak,
serta harta benda hilang, tetapi juga menelan korban jiwa.
Di Manado, banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah menyebabkan
paling tidak 16 orang meninggal dan sekitar 10 orang masih tertimbun.
Selain itu, sekitar 40.000 orang harus mengungsi. Pemerintah menetapkan
banjir di Manado sebagai bencana nasional.
Hingga kemarin, kondisi
Manado yang porak poranda akibat banjir bandang belum pulih. Meski
hujan masih terus turun, ribuan warga Manado tetap berusaha membersihkan
rumah dan lingkungan mereka, dibantu sekitar 500 personel TNI.
Bencana
alam di sejumlah wilayah di Indonesia yang terjadi sejak akhir tahun
lalu itu menimbulkan kerugian material yang tidak sedikit. Di Sulawesi
Utara, misalnya, kerugian material akibat banjir bandang dan longsor di
lima kabupaten/kota mencapai Rp 1,871 triliun.
Di daerah lain,
kerugian material belum terdata, tetapi yang jelas ribuan rumah dan
gedung rusak, ribuan hektar lahan pertanian juga tergenang dan terancam
gagal panen.
Kerugian material akibat bencana juga dialami warga
korban erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Paling
tidak 1.204 rumah hancur akibat erupsi Sinabung, kerugian diperkirakan
Rp 20 miliar. Jumlah kerugian tersebut belum termasuk kerugian akibat
kerusakan lahan pertanian akibat tersiram abu vulkanik.
Berbagai
bencana yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba. Ada proses yang mendahuluinya, tetapi tidak sepenuhnya
disadari berisiko buruk bagi manusia. Banjir, termasuk banjir bandang,
dan juga tanah longsor yang setiap tahun terus bertambah bagaimanapun
merupakan akibat perilaku manusia.
"Bukan hanya soal cuaca, tetapi
soal perilaku manusianya," kata Direktur Pusat Studi Manajemen Bencana
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh
Paripurno yang dihubungi dari Jakarta, Minggu.
Perilaku itu
menyangkut kondisi di hulu maupun hilir. Di hulu, ada perilaku manusia
yang membuka kawasan hijau atau menghilangkan daerah resapan. Di hilir,
perilaku mempersempit aliran air atau mengambil alih jalan air.
"Persoalan
itu ditambah minimnya kesadaran bersama, baik pemerintah, kalangan
swasta, maupun warga bahwa apa yang terjadi merupakan musuh bersama yang
seharusnya ditangani bersama," kata dia. Yang terjadi, masing-masing
saling mencari siapa yang salah.
Ketua Pusat Studi Kebumian,
Bencana, dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien
Widodo mengatakan, sumber utama banjir, banjir bandang, dan tanah
longsor adalah penggundulan hutan yang kian masif. Alih fungsi hutan
untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman membuat air hujan yang turun
tak dapat diserap tanah dan langsung mengalir menuju tempat yang lebih
rendah.
Sampah yang dibuang ke sungai membuat kedalaman sungai
makin dangkal. Akibatnya, saat debit air sungai meningkat, terlebih lagi
dalam kondisi cuaca ekstrem seperti sekarang, air meluap hingga
menggenangi banyak daerah di sepanjang aliran sungai.
"Pengerukan sungai tidak akan memberi manfaat banyak dalam jangka
panjang jika bagian hulu sungai tidak ditata karena sedimentasi akan
terus terjadi," katanya.
Hal senada dikatakan pakar lingkungan
dari Universitas Diponegoro, Semarang, Prof Sudharto P Hadi. Dia menilai
banjir dan longsor yang terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air
merupakan bencana ekologis, yaitu akibat menurunnya daya dukung
lingkungan. Hal ini terjadi karena pola pembangunan saat ini yang lebih
mengabdi pada pertumbuhan ekonomi.
Orientasi kebijakan pemerintah
terutama di daerah bagaimana meningkatkan pendapatan asli daerah. Banyak
kebijakan yang dicederai kepentingan pasar, dan tata ruang terabaikan.
"Ini
momentum untuk gerakan nasional menanggulangi banjir. Kalau ada tata
ruang yang sudah disalahi, mari kita perbaiki agar bencana tidak
berulang," kata Rektor Undip tersebut.
Namun, yang terjadi,
pemerintah cenderung disibukkan dengan berbagai rencana proyek pembuatan
bendungan maupun pengerukan sungai untuk mencegah banjir terjadi lagi.
Bahkan untuk merespons bencana pun, pemerintah lambat.
Seperti di
Kabupaten Karo, para korban erupsi Sinabung sudah bertahan di
pengungsian sekitar 3 bulan, tetapi belum ada kejelasan bagaimana
penanganan selanjutnya mengingat erupsi Sinabung kemungkinan masih akan
berlanjut.
Di Manado, pemerintah kota setempat juga dinilai lambat
membantu para korban banjir. Di sejumlah wilayah, warga masih
kekurangan air minum.
Dari berbagai langkah yang dilakukan
pemerintah, penanganan bencana masih reaktif. Belum terlihat upaya
terpadu untuk menata lingkungan dan tata ruang yang sudah telanjur
rusak.
Seperti di Manado, untuk mencegah banjir terjadi lagi,
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) segera meninggikan tanggul di sekeliling
Danau Tondano dan pembuatan pintu airnya sekitar 1 meter mulai tahun
ini. "Dengan hal ini diharapkan kapasitas tampungan (Danau Tondano) akan
meningkat," ujar Wakil Menteri PU Hermanto Dardak di Jakarta, Jumat.
Hermanto
mengatakan, ada beberapa sungai yang bermuara ke danau tersebut. Untuk
mengatur volume air yang masuk ke Danau Tondano, Kementerian PU akan
membuat pintu air. Dengan adanya pintu air itu, debit air yang masuk
bisa dikendalikan sehingga tidak akan melebihi kapasitasnya.
"Untuk mengerjakan peninggian tanggul dan pintu air, kami sudah anggarkan Rp 72 miliar," ujarnya.
Beberapa
sungai di Manado juga menyempit akibat sedimentasi. Kementerian PU akan
menormalisasi sungai-sungai itu, dilebarkan menjadi 50 meter. Untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut, dialokasikan dana Rp 156 miliar yang
berasal dari tahun anggaran 2014 dan 2015.
Hermanto mengatakan,
pihaknya juga berencana membangun waduk berkapasitas 23 juta meter kubik
di Manado. Dibutuhkan empat tahun dan dana tidak kurang dari Rp 1
triliun untuk membangun waduk tersebut.