polreskepulauanseribu.com - Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berisi
sikap atas pembahasan RUU KUHP dan KUHAP yang saat ini dibahas DPR dan
pemerintah menyulut amarah parlemen. Surat KPK berpotensi menabrak
hubungan lembaga negara.
Surat KPK tertanggal 17 Februari
2014 nomor B-346/01-55/02/2014 yang berisi lima poin memunculkan
polemik di internal DPR. Di sisi lain, surat KPK juga mengungkap ke
publik tentang pihak yang bertanggungjawab dalam RUU KUHAP dan KUHP yang
belakangan disebut berupaya membonsai kewenangan KPK.
Salah satu
poin yang membuat kalangan DPR kebakaran jenggot, KPK meminta agar
pembahasan RUU KUHP dan KUHAP dilakukan di DPR periode 2014-2019.
"Pembahasan RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil sebaiknya dilakukan
setelah DPR yang baru periode 2014-2019 membahas, menyelesaikan dan
mengesahkan RUU KUHP yang baru," demikian bunyi surat yang diteken
Abraham Samad itu.
Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani
mempertanyakan surat yang dikirim KPK. Menurut Yani, surat tersebut tak
lebih sebagai upaya intervensi dalam pembentukan perundang-undangan di
DPR. "Menurut saya ini sudah mengintervensi pembentukan UU," cetus Yani.
Yani
menegaskan pihaknya menginginkan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP sesuai
dengan jadwal yang telah direncanakan sebelumnya. Politikus Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) ini meminta pemerintah tetap menjaga
komitmen sampai akhir pembahasan. "Pimpinan Komisi III, segera merespon
agar memanggil pimpinan KPK untuk mengklarifikasi," ujar Yani.
Hal
senada disampaikan anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Gerindra
Desmon Junaedi Mahesa. Menurut dia, perlu ada kejelasan dari pemerintah
apakah melanjutkan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP atau tidak. "Kalau
pemerintah mundur, buat apa kita melanjutkan, mending kita pulang saja,"
tegas Desmon.
Sementara anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi
Partai Hanura Sarifuddin Suding mengatakan lembaga yang berwenang
membuat undang-undang adalah DPR dan pemerintah. Menurut dia, surat KPK
tidak menghalangi untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP.
"Walaupun ada surat KPK tidak menghalangi kita untuk melanjutkan
pembahasan UU ini," kata Suding.
Di samping itu, di salah satu
poin surat tersebut, KPK juga meminta pemerintah untuk memperbaiki RUU
KUHP. Selain itu, KPK juga meminta agar pemerintah mengeluarkan seluruh
tindak pidana luar biasa dari buku II RUU KUHP termasuk tindak pidana
korupsi dan tindak pidana lainnya yang bersifat koruptif yang merupakan
delik korupsi berdasarkan UU Tipikor saat ini.
"Beberapa ketentuan
dalam RUU KUHAP juga perlu diperbaiki lebih dahulu, antara lain adanya
ketentuan khusus untuk mendukung proses penegakan hukum atas kejahatan
korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya," sebut surat tersebut.
Surat
KPK ini di satu sisi tak ubahnya menelikung wewenang DPR dan pemerintah
dalam pembuatan undang-undang. Di sisi lain, surat KPK juga membuka
asumsi publik selama ini yang menempatkan DPR sebagai institusi yang
salah khususnya terkait isu pembonsaian KPK. Padahal, jika ditelusuri
RUU KUHP dan KUHAP berasal dari pemerintah.